KARTINI DAN EMANSIPASI WANITA

Aktivis perempuan sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Dia digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan dengan perjuangan Kartini?

Wanita di Dunia

Sejak kira-kira tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya.
Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-hidup.
Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan yang tiada tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda Rasulullah SAW ini mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti seorang perempuan) adalah salah satu penentu dalam meraih surga. Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai luhur.
Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga akhirnya pada awal abad ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar, seiring dengan peradaban, sains dan teknologi yang ditawarkan oleh Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).
Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak. Mereka memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme di AS difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena kala itu wanita disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Setelah tuntutan itu terpenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun 1950-an. Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tak pernah digugat, meski sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah sebagai buah revolusi industri. Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang lagi di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestic (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan kembali isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya.
Untuk itu, wanita tidak harus kawin dan punya anak agar tidak membebani dan menghambat pengembangan dirinya. Tokoh-tokoh feminis kala itu, memberikan dorongan kepada wanita untuk membebaskan diri dari kewajiban kerumahtanggaan. Juliet Mitcher dalam bukunya Women’s Estate (1971) mengatakan “menjadi ibu rumah tangga itu sama dengan menjadi budak.” Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki. Laki-laki dipandang sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita. Gerakan kaum feminis yang mengecilkan arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada sebagian besar masyarakat AS.
Hal ini karena: Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala keberhasilan dengan bentuk materi (kapitalisme). Kekuasaan dalam keluarga diukur dari banyaknya materi yang dibawa ke dalam keluarga. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga, jika tidak menghasilkan materi (uang).
Kedua, individualisme yang dianut kuat di masyarakat. Sistem yang ada di Barat telah menempatkan individu sebagai figur yang lebih penting dari kelompok. Individu adalah the center of human action. Menurut paham ini, pekerjaan kerumahtanggaan dianggap sebagai penindasan individu.
Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan domestic wanita dalam perhitungan GNP (Gross National Product). Dengan demikian wanita dengan tugas reproduktifnya dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan.
Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS, tetapi di seluruh dunia, virus peradaban ini terus menginfeksi tubuh masyarakat. Hal ini terbukti dari hasil yang dicapai pada Konferensi Wanita Sedunia (2 Juli 1975), di Mexico City. Konferensi tersebut merupakan Puncak Tahun Wanita Internasional (TWI) dan menghasilkan World Plan of Action of The International Women’s Year, sebagai pedoman bagi kegiatan dalam jangka waktu 10 tahun. Hasil Konferensi ini diterima Majelis Umum PBB dan dijadikan resolusi PBB yang mempunyai kekuatan untuk ditaati oleh semua negara anggota PBB, tak terkecuali Indonesia .
kemudian munculah tokoh-tokoh feminism seperti Fatima Mernissi (Maroko), Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud, Mazharul Haq Khan serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz, Myra Diarsi setidaknya menjadi bukti bahwa gerakan inipun cukup laku di dunia Islam. Bahkan tak hanya dari kalangan wanita, dari kalangan pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin Syafruddin, dan lain-lain. Di Indonesia, feminisme lebih dikenal dengan emansipasi wanita. Tak sedikit orang-orang yang telah memperjuangkan emansipasi tersebut menjadikan RA Kartini menjadi simbol perjuangannya. Pikiran-pikiran RA Kartini yang tertuang dalam bentuk surat-menyurat kemudian dikumpulkan dalam satu buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Emanispasi Wanita (Feminisme)

Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, 1995)
sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria atau usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu. (id.wikipedia.org)
konsep mengenai feminism memang terlihat sangat bagus karena memerankan perempuan sejajar denggan kaum lelaki dan menegakan hak-hak perempuan dari penindasan, kekerasan dan keterbelakangan pendidikan namun kenyataan yang terjadi konsep feminism dalam laporan tentang konvensi menyatakan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan.
Hal tersebut dianggap karena agama (islam) menggap derajat wanita lebih rendah dari pada pria misalnya Kepemimpinan yang mengandung kekuasaan dan kepemimpinan keluarga, diserahkan kepada pria; tidak kepada wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada pria, tidak kepada wanita. Jihad yang diwajibkan kepada pria. Batas aurat dan waris juga berbeda antara pria dan wanita. Inilah yang sering menyebabkan syariah Islam dituduh mendiskriminasikan wanita.

Kritik atas Emanispasi

Konsep Kesetaraan atau emansipasi sudah sangat berlebihan dalam memandang wanita, memang dalam prinsip islam wanita dilarang untuk menjadi kepala Negara atau kepala pemerintahan hal ini termaktub dalam hadist dituturlan Abu Bakrah ra.:
Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita (HR al-Bukhari) Hadis sahih riwayat al-Bukhari, hadis no. 6570
Namun bukan hanya itu dalam teori kesehatan pun wanita memang kurang tepat menjadi pemimpin pemerintahan, wanita punya kodrat seperti menstruasi, saat menstruasi kondisi wanita cenderung labil sehingga ketika kondisi wilayah atau negara sedang bermasalah dan perlu mengambil kebijakan maka akan sulit mengambil keputusan yang tepat dengan kondisi saat menstruasi.
Namun tidak berarti kemudian wanita tidak boleh berpolitik, wanita bisa masuk dalam pemerintahan dalam jabatan-jabatan seperti menjadi anggota Majelis Wilayah, anggota Majlis Ummah, qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antarrakyat), qâdhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).8 Boleh juga bagi wanita menjadi kepala Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Rektor Perguruan Tinggi Negeri dll.
Sebenarnya, hukum kepemimpinan bagi pria merupakan bentuk penghormatan Islam kepada wanita. Wanita tidak diberi beban tanggung jawab yang berat agar peran utama wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga—yang notabene adalah peran yang agung dan mulia karena akan melahirkan generasi yang berkualitas—tetap terpelihara. Manakala wanita dibebani peran kekuasaan yang berat dan luas maka peran utama akan terganggu dan nasib generasi akan dipertaruhkan.
Dan juga wanita dan laki-laki mempunyai peran berbeda tapi tidak berarti satu lebih unggul disbanding dengan lainnya, justru karena perbedaan itulah yang kemudian menyempurnakan satu sama lain
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (TQS an-Nisaa [4] : 32)

Kartini dan Emansipasi (Feminisme)

Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.
Pemikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagi kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Hal ini setidaknya terlihat dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi,
“Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”
Demikian juga dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 yang isinya,
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya), “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya,
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Beberapa surat Kartini di atas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis. Wallahu a‘lam bi muradih

*Ditulis oleh Ahmad Kardi dari berbagai sumber dalam Kajian Anti Korupsi dengan tema Kartini day’s
Kamis, 16/04/2010

0 comments:

Posting Komentar