Rabu, 28 April 2010 /

FORUM GERASI

comments (0) / Read More

Selasa, 27 April 2010 / Labels:

UNDANG-UNDANG TENTANG KORUPSI

UU Tentang komisi Pemberantasan Korupsi

DOWNLOAD

comments (0) / Read More

/ Labels:

BIBIT-CHANDRA JILID 2; KPK DALAM BAHAYA


Selasa, 20 April 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuka kembali kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Candra M. Hamzah. Keputusan ini menghentak publik karena dibuat di tengah-tengah gencarnya proses pengusutan suap yang ditangani KPK. Apalagi pembatalan SKPP kasus Bibit-Candra dikeluarkan atas permohonan Anggodo Widjojo yang saat ini justru merupakan tersangka dalam kasus korupsi Radio Komunikasi Kementerian Kehutanan.



Konsekuensi Kasus

Merujuk teori independensi KPK, kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra sangat membahayakan eksistensi KPK sebagai the last bastion pemberantasan korupsi di Indonesia. Mundurnya beberapa direktur dari lembaga ini beberapa waktu lalu juga dapat dicegah seandainya ada proteksi yang memadai. KPK mestinya tidak mudah menyerahkan pimpinan dan personelnya untuk diperiksa terkait wewenang dan tugas yang diembannya. Sebab hanya akan meruntuhkan mentalitas korps, meruntuhkan kredibilitas, dan mengancam eksistensi lembaga.



Pembatalan SKPP Bibit-Chandra terjadi saat KPK dalam situasi yang tidak diuntungkan. Di satu sisi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini berada pada titik nadir menyusul lambatnya KPK dalam mengusut skandal korupsi yang menarik menyedot publik, seperti kasus Century dan suap anggota DPR dalam kasus pemilihan mantan deputi gubernur BI Miranda S. Goeltom. Di pihak lain, KPK sendiri sudah mulai melakukan pengusutan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam dua kasus di atas. Belum lama ini KPK mengumumkan akan segera memanggil mantan gubernur BI Budiono dan menteri keuangan Sri Mulyani dalam kasus Century. Sementara penetapan tersangka sudah dilakukan dalam kasus pemilihan mantan deputi gubernur BI. Dalam dua kasus ini saja, aktor pemerintah, birokrasi, partai politik dan penegak hukum yang mulai tersentuh cukup membuat keder banyak orang. Bukan hal yang mengherankan jika sinyalemen koruptor fight back bisa masuk melalui pintu kasus ini.



Konsekuensi kelanjutan kasus Bibit-Candra dapat berupa lunturnya tekad KPK untuk melanjutkan kasus-kasus besar. Kasus ini secara tidak langsung telah menghilangkan fokus pimpinan KPK. Dari menjalankan tugas pemberantasan korupsi menyusul mandulnya institusi-institusi penegak hukum lain, menjadi sekadar mengurus kasus yang membelitnya sendiri. KPK akan kehilangan kekuatannya terhadap extra-ordinary crime para koruptor.



Skenario Penghancuran

SBY-lah yang sesungguhnya harus ikut bertanggungjawab untuk membendung proses penghancuran KPK. Apalagi wacana penghancuran KPK mendapat angin setelah presiden Susilo Bambang Yudhyono mengeluarkan kritik tentang eksistensi KPK sebagai lembaga superbody yang kewenangannya kelewat besar. Jika tidak, komitmennya dalam pemberantasan korupsi perlu dipertanyakan kembali-untuk tidak mengatakan SBY terlibat pembiaran penghancuran KPK.

Pada titik ini SBY perlu memerintahkan kejaksaan untuk melakukan langkah hukum yang serius. Perintah presiden bukan dalam rangka intervensi terhadap materi dan proses hukum itu sendiri, namun harus dilihat sebagai dukungan moral dan politik terhadap kejaksaan. Dapat dibayangkan jika kejaksaan tidak ambil peduli pada kelanjutan kasus ini karena merasa bukan urusannya lagi.



Langkah Penanganan

SKPP sudah terlanjur dikeluarkan kejaksaan, namun dibatalkan pengadilan. Langkah selanjutnya tentu kejaksaan dapat melakukan banding. Meskipun demikian, langkah ini cukup berisiko perkara akan berlarut larut yang akan menyita perhatian Bibit-Chandra. Kemungkinan menang kalah pun tetap fifty-fifty, tergantung hakim seperti apa yang akan menangani di tingkat yang lebih tinggi.



Terhadap keputusan hakim perihal pembatalan SKPP, SBY cukup memerintahkan Satgas Mafia Hukum untuk menyelidiki ada-tidaknya permainan di balik keputusan hakim di sidang praperadilan. SBY tidak perlu lagi membentuk tim khusus untuk menyelidiki duduk masalah kasus. Pembentukan tim-tim khusus hanya mengalihkan tanggungjawab presiden untuk masalah yang telah terang-benderang.



Berkaca pada pembatalan SKPP di atas, kejaksaan maupun SBY dapat dianggap belum melakukan langkah hukum yang maksimal. Menurut pandangan banyak ahli, ada langkah lain selain SKPP yang justru lebih tepat untuk kasus ini:



1. Kejaksaan Agung mestinya bisa men-deponeering atau mengesampingkan kasus Bibit-Chandra. Deponeering cocok dengan pertimbangan kepentingan masyarakat yang lebih besar, sementara SKPP akan berbenturan dengan cara pandang legalistik yang kaku dari hakim-hakim.



2. Mengutip pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md pada saat pro dan kontra kasus Bibit dan Chandra jilid 1 tahun lalu, SBY dapat mengeluarkan abolisi terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto dan Cahndra Hamzah. Langkah itu untuk menghindari kekacauan dengan menutup kasus hukum terhadap Bibit dan Candra yang merupakan hak dan kewenangan presiden menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar.



Apapun langkah hukum yang ditempuh, KPK sendiri tidak dapat tinggal diam. KPK harus melakukan perlawanan terhadap serangan para koruptor. KPK perlu segera mempercepat proses pengusutan dan penuntutan kasus-kasus besar yang ditangani. Jika tidak, kita khawatir KPK segera tinggal nama.


Jurus-Jurus Penghancurkan KPK



1. Upaya pembatalan UU KPK dengan sarana judicial review di MK;

2. ancaman langsung,

3. memangkas kewenangan penyadapan dan penuntutan KPK,

4. proyek "kuda troya" untuk membajak KPK melalui seleksi pimpinannya,

5. penolakan anggaran,

6. wacana menyesatkan bahwa KPK lembaga ad hoc sehingga harus bubar suatu saat,

7. menyandera independensi KPK dengan tidak menyetujui penyidik independen,

8. hingga kriminalisasi dan rekayasa proses hukum untuk menjerat pimpinan KPK



(Sumber: Febri Diansyah dari "Super Anggodo", Kompas, 22/4)



Oleh Ilham B. Saenong

www.ti.or.id

comments (0) / Read More

Jumat, 23 April 2010 / Labels:

PENTINGNYA PENEGAKAN HUKUM


Pada jaman Nabi ada seorang perempuan dari Makhzumiyah melakukan pencurian. Kasus ini menjadi perhatian besar kaum Quraisy. Mereka pun melakukan diskusi untuk meminta keringanan dari Nabi SAW agar wanita itu bebas dari jerat hukum. Akhirnya mereka pun sepakat mengutus Usamah bin Zaid, orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah SAW. Usamah pun menyampaikan misinya. Mendengar hal itu, Rasulullah berkata kepada Usamah, “Wahai Usamah, apakah engkau hendak meminta keringanan terhadap penerapan salah satu hukum Allah?” Beliau pun lantas berpidato di hadapan masyarakat, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa dikarenakan jika ada yang mencuri dari kalangan bangsawan/pejabat mereka membiarkannya. Sementara, ketika ada yang mencuri dari kalangan masyarakat lemah mereka menerapkan hukum dengan tegas. Demi Allah, andai saja Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya,” begitu sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Abu Dawud, dan an-Nasai.

Merujuk pada hadits tersebut, setidaknya ada dua pelajaran yang dapat kita petik.

Pertama, kita perlu waspada, sebab Indonesia sedang berjalan menuju jurang kebinasaan sebagaimana bangsa terdahulu. Di Indonesia, hukum hanya berlaku bagi kaum papa. Belum lepas dari ingatan, para pelaku kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang menelan uang rakyat Rp600 triliun bebas berkeliaran. Pejabat yang merampok uang rakyat dalam kasus Century tetap berkuasa. Sementara, nenek Minah yang mengambil tiga kakao seharga Rp1500 dijatuhi hukuman 1,5 bulan. Siapapun yang ingin menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini harus menghentikan kezhaliman tersebut.


Kedua, Rasulullah sangat keras menolak permintaan keringanan hukuman bagi pelaku kejahatan sekalipun dia keluarga pembesar Quraisy. Kalau hal demikian saja ditentang oleh Nabi, apalagi makelar kasus alias markus. Padahal, menurut Neta S. Pane dari Indonesian Police Watch, bukan hanya markus yang ada melainkan juga makelar proyek.

Upaya untuk membongkar kebobrokan hukum terus dilakukan. Tapi berhenti di tengah jalan. Sekedar contoh, Panitia Khusus (Pansus) Century DPR RI sudah menegaskan bahwa mantan pejabat BI, Boediono yang kini menjadi Wakil Presiden, dan Sri Mulyani yang kini sebagai Menteri Keuangan harus ditindaklanjuti secara hukum. Namun, tak ada tanda-tanda tindak lanjut hukum. Presiden pun tampak membelanya. Keputusan politik sudah jelas. Jalan sudah terang. Tapi, hukum tidak berjalan. Begitu juga, markus dalam kasus Gayus. Fakta sudah ditemukan, polisi sudah mencopot jabatan jenderal yang diduga terlibat, aliran dana gampang ditelusuri, nama-nama pejabat yang diduga terlibat sudah terpampang, tapi hukum berhenti. Masalah-masalah hukum yang melibatkan pejabat dan orang besar hampir dapat dipastikan selalu menguap, tak ada tindak lanjut. Mengapa?

Ada dua hal menjadi penyebab kondisi diatas, yaitu rusaknya sistem dan rusaknya orang/pemimpin. Memang, sistem hukum yang diterapkan saat ini tidak menjamin keadilan karena hukum yang diterapkan merupakan hukum buatan manusia. Teks hukum dapat ditarik ke sana ke mari sesuai kepentingan.

Selain itu, sistem penyelesaian masalah yang digunakan pun bermasalah. Mereka menggunakan manajemen konflik, bukan resolusi konflik. Dengan manajemen konflik, maka konflik dilanggengkan sehingga hukum dilupakan. Misalnya, ketika Pansus DPR telah mengeluarkan rekomendasi, muncullah kasus LC fiktif yang diduga melibatkan inisiator pansus dan dibukalah kembali kasus suap pemilihan Gubernur BI Miranda Goeltom yang melibatkan anggota DPR. Tindak lanjut kasus Century pun berhenti. Setiap ada pembongkaran kasus hukum oleh satu pihak , dimunculkanlah kasus hukum yang melibatkan pihak pembongkar tersebut. Sebab, sama-sama berkasus. Akhirnya, proses hukum kedua-duanya berhenti. Hal ini terus berjalan. Inilah kejahatan sistemik.

Karenanya, untuk menyelamatkan Indonesia harus ada penggantian sistem hukum. Semestinya, sistem hukum yang diterapkan adalah hukum syariat Islam yang bersumber dari Allah SWT Zat Maha Adil. Hukum syariat Islam sajalah yang menjamin keadilan dan membawa keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, “Penegakkan satu diantara hukum-hukum Allah SWT lebih baik daripada hujan turun empat puluh malam di negeri Allah Zat Maha Gagah Perkasa” (HR. Ibnu Majah, Jilid II, hal. 848). Padahal, kita tahu didalam al-Quran hujan digambarkan sebagai simbol rizki dan keberkahan.

Sementara, penerapan hukum tak dapat diharapkan. Ternyata, markus melibatkan para pejabat tinggi penegak hukum. Beberapa jenderal polisi terlibat, jaksa juga terlibat, pengacara pun terlibat. Mafia peradilan makin terang sosoknya. Karenanya, jargon ‘penegakkan hukum’ hanya akan melahirkan ketidakadilan apabila isi hukum yang diterapkan itu sendiri justru penuh ketidakadilan. Semakin diterapkan semakin tidak adil. Apalagi diterapkan oleh penegak hukum yang juga terlibat makelar kasus. Kata Rasulullah SAW, “Penegak hukum itu ada tiga jenis, dua masuk neraka dan satu masuk sorga. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang tidak benar padahal ia tahu maka ia di neraka. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang tidak benar sementara ia tidak tahu sehingga terampaslah hak masyarakat maka ia di neraka. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang benar maka ia di sorga” (HR. Baihaqi dan an-Nasai).

Lagi-lagi, sudah saatnya ada pergantian sistem hukum dengan syariat Islam dan penggantian pemimpin dengan khalifah yang menerapkan syariat Islam. Hanya ini jalan satu-satunya jalan menyelamatkan Indonesia dan seluruh umat manusia.[ Muhammad Rahmat Kurnia]


dikutip dari www.hizbut-tahrir.or.id

comments (0) / Read More

Selasa, 20 April 2010 /

KARTINI DAN EMANSIPASI WANITA

Aktivis perempuan sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Dia digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan dengan perjuangan Kartini?

Wanita di Dunia

Sejak kira-kira tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya.
Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-hidup.
Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan yang tiada tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda Rasulullah SAW ini mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti seorang perempuan) adalah salah satu penentu dalam meraih surga. Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai luhur.
Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga akhirnya pada awal abad ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar, seiring dengan peradaban, sains dan teknologi yang ditawarkan oleh Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).
Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak. Mereka memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme di AS difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena kala itu wanita disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Setelah tuntutan itu terpenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun 1950-an. Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tak pernah digugat, meski sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah sebagai buah revolusi industri. Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang lagi di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestic (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan kembali isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya.
Untuk itu, wanita tidak harus kawin dan punya anak agar tidak membebani dan menghambat pengembangan dirinya. Tokoh-tokoh feminis kala itu, memberikan dorongan kepada wanita untuk membebaskan diri dari kewajiban kerumahtanggaan. Juliet Mitcher dalam bukunya Women’s Estate (1971) mengatakan “menjadi ibu rumah tangga itu sama dengan menjadi budak.” Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki. Laki-laki dipandang sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita. Gerakan kaum feminis yang mengecilkan arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada sebagian besar masyarakat AS.
Hal ini karena: Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala keberhasilan dengan bentuk materi (kapitalisme). Kekuasaan dalam keluarga diukur dari banyaknya materi yang dibawa ke dalam keluarga. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga, jika tidak menghasilkan materi (uang).
Kedua, individualisme yang dianut kuat di masyarakat. Sistem yang ada di Barat telah menempatkan individu sebagai figur yang lebih penting dari kelompok. Individu adalah the center of human action. Menurut paham ini, pekerjaan kerumahtanggaan dianggap sebagai penindasan individu.
Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan domestic wanita dalam perhitungan GNP (Gross National Product). Dengan demikian wanita dengan tugas reproduktifnya dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan.
Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS, tetapi di seluruh dunia, virus peradaban ini terus menginfeksi tubuh masyarakat. Hal ini terbukti dari hasil yang dicapai pada Konferensi Wanita Sedunia (2 Juli 1975), di Mexico City. Konferensi tersebut merupakan Puncak Tahun Wanita Internasional (TWI) dan menghasilkan World Plan of Action of The International Women’s Year, sebagai pedoman bagi kegiatan dalam jangka waktu 10 tahun. Hasil Konferensi ini diterima Majelis Umum PBB dan dijadikan resolusi PBB yang mempunyai kekuatan untuk ditaati oleh semua negara anggota PBB, tak terkecuali Indonesia .
kemudian munculah tokoh-tokoh feminism seperti Fatima Mernissi (Maroko), Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud, Mazharul Haq Khan serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz, Myra Diarsi setidaknya menjadi bukti bahwa gerakan inipun cukup laku di dunia Islam. Bahkan tak hanya dari kalangan wanita, dari kalangan pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin Syafruddin, dan lain-lain. Di Indonesia, feminisme lebih dikenal dengan emansipasi wanita. Tak sedikit orang-orang yang telah memperjuangkan emansipasi tersebut menjadikan RA Kartini menjadi simbol perjuangannya. Pikiran-pikiran RA Kartini yang tertuang dalam bentuk surat-menyurat kemudian dikumpulkan dalam satu buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Emanispasi Wanita (Feminisme)

Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, 1995)
sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria atau usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu. (id.wikipedia.org)
konsep mengenai feminism memang terlihat sangat bagus karena memerankan perempuan sejajar denggan kaum lelaki dan menegakan hak-hak perempuan dari penindasan, kekerasan dan keterbelakangan pendidikan namun kenyataan yang terjadi konsep feminism dalam laporan tentang konvensi menyatakan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan.
Hal tersebut dianggap karena agama (islam) menggap derajat wanita lebih rendah dari pada pria misalnya Kepemimpinan yang mengandung kekuasaan dan kepemimpinan keluarga, diserahkan kepada pria; tidak kepada wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada pria, tidak kepada wanita. Jihad yang diwajibkan kepada pria. Batas aurat dan waris juga berbeda antara pria dan wanita. Inilah yang sering menyebabkan syariah Islam dituduh mendiskriminasikan wanita.

Kritik atas Emanispasi

Konsep Kesetaraan atau emansipasi sudah sangat berlebihan dalam memandang wanita, memang dalam prinsip islam wanita dilarang untuk menjadi kepala Negara atau kepala pemerintahan hal ini termaktub dalam hadist dituturlan Abu Bakrah ra.:
Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita (HR al-Bukhari) Hadis sahih riwayat al-Bukhari, hadis no. 6570
Namun bukan hanya itu dalam teori kesehatan pun wanita memang kurang tepat menjadi pemimpin pemerintahan, wanita punya kodrat seperti menstruasi, saat menstruasi kondisi wanita cenderung labil sehingga ketika kondisi wilayah atau negara sedang bermasalah dan perlu mengambil kebijakan maka akan sulit mengambil keputusan yang tepat dengan kondisi saat menstruasi.
Namun tidak berarti kemudian wanita tidak boleh berpolitik, wanita bisa masuk dalam pemerintahan dalam jabatan-jabatan seperti menjadi anggota Majelis Wilayah, anggota Majlis Ummah, qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antarrakyat), qâdhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).8 Boleh juga bagi wanita menjadi kepala Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Rektor Perguruan Tinggi Negeri dll.
Sebenarnya, hukum kepemimpinan bagi pria merupakan bentuk penghormatan Islam kepada wanita. Wanita tidak diberi beban tanggung jawab yang berat agar peran utama wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga—yang notabene adalah peran yang agung dan mulia karena akan melahirkan generasi yang berkualitas—tetap terpelihara. Manakala wanita dibebani peran kekuasaan yang berat dan luas maka peran utama akan terganggu dan nasib generasi akan dipertaruhkan.
Dan juga wanita dan laki-laki mempunyai peran berbeda tapi tidak berarti satu lebih unggul disbanding dengan lainnya, justru karena perbedaan itulah yang kemudian menyempurnakan satu sama lain
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (TQS an-Nisaa [4] : 32)

Kartini dan Emansipasi (Feminisme)

Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.
Pemikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagi kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Hal ini setidaknya terlihat dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi,
“Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”
Demikian juga dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 yang isinya,
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya), “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya,
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Beberapa surat Kartini di atas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis. Wallahu a‘lam bi muradih

*Ditulis oleh Ahmad Kardi dari berbagai sumber dalam Kajian Anti Korupsi dengan tema Kartini day’s
Kamis, 16/04/2010

comments (0) / Read More

Rabu, 14 April 2010 /

SYARI'AH ISLAM PILIHAN CERDAS MEMBERANTAS KORUPSI


Akhir-akhir ini nama Gayus Tambunan meroket setelah ia di sinyalir terlibat dalam markus pajak 25 M rupiah yang di bongkar oleh Kabareskrim Susno Djuadi. Alhasil, masyarakat pun menjadi berang, banyak diantara mereka yang enggan untuk membayar pajak karena uang hasil pajak rawan disalahgunakan.

Gayus tidaklah sendirian, konon ada indikasi bahwa mafia pajak ini juga melibatkan oknum dari institusi penegak hukum seperti polisi, kejaksaan agung, kehakiman, sipil, dan aparat Ditjen Pajak sendiri.

Dengan kasus ini, kita jadi tahu selain ada mafia perbankan seperti Robert Tantular dalam kasus Century sekarang ada mafia perpajakan, juga mafia-mafia yang lain: dari mafia hukum sampai mafia Ujian Nasional. Baik mafia kecil maupun mafia besar, baik yang sindiri-sendiri maupun yang berjamaah.



KPK dan Korupsi di Indonesia

Tidak bisa di pungkiri, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan penyakit klasik yang tidak kunjung terobati. Meskipun upaya-upaya pemberantasannya sudah di lakukan dengan berbagai cara. Namun, pada faktanya korupsi di Indonesia malah semakin menggejala. Yang paling di andalkan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Komisi yang dibentuk pada tahun 2003 dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Dalam perjalananya, KPK cukup mampu bekerja dengan baik, terbukti dengan terungkap dan di adilinya beberapa kasus korupsi. Namun apa mau dikata, ternyata korupsi di Indonesia bukannya semakin berkurang malah semakin bertambah. Setelah kasus yang satu selesai muncul kasus-kasus yang lain.

Bagaimanapun, lembaga sekelas KPK tentunya tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam memberantas korupsi. Hanya sedikit yang mempu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaanya banyak yang bilang masih tebang pilih, ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap penyidikan KPK.

Lembaga ini memang hanya berfungsi sebagai pemburu dan penangkap koruptor. Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan. Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan secara efektif. Padahal ini adalah faktor penting dalam memberantas korupsi.

Sebenarnya lembaga-lembaga semacam ini sudah sering dibentuk walaupun mungkin sekedar formalitas dan tidak leluasanya kewenangan hukum yang dimiliki. Pada tahun 1970 saat Soeharto menjabat sebagai kepala negara pernah ada lembaga yang namanya "komisi empat", bertugas memberikan langkah-langkah strategis dan taktis kepada pemerintah. Pada tahun yang sama juga terbentuk KAK (Komisi Anti Korupsi) yang digawangi oleh para aktivis mahasiswa di era itu. Di antaranya Akbar Tandjung, Asmara Nababan cs. Sampai muncullah KPK untuk pertama kalinya di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri.

Korupsi di negeri ini masih saja menggejala disebabkan korupsi ini adalah korupsi yang sistematis. Namun, seringkali solusi yang ditawarkan cuma sekedar dengan kelembagaan. Seharusnya penyelesainya harus secara sistematis.



Sistem Islam Solusinya

Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggaairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi (berupa ta'zir) bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Negara khilafah Islamiyah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dengan berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).

Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.

Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambil contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, mereka malah enjoy dengan mobil mewah terbarunya, serta fasilitas-fasilitas yang lain.

Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kaffah, menuju Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Ini bukan tentang mendukung atau tidak mendukung KPK, namun ini tentang realita yang ada di depan mata, juga tentang keimanan yang menancap di dalam dada. Tidak boleh di tawar, solusinya adalah dengan sistem Islam.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50)

Wallahu a’lam bi ash shawab. (Oleh Ali Mustofa)

www.dakwahkampus.com

comments (0) / Read More