BIBIT-CHANDRA JILID 2; KPK DALAM BAHAYA


Selasa, 20 April 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuka kembali kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Candra M. Hamzah. Keputusan ini menghentak publik karena dibuat di tengah-tengah gencarnya proses pengusutan suap yang ditangani KPK. Apalagi pembatalan SKPP kasus Bibit-Candra dikeluarkan atas permohonan Anggodo Widjojo yang saat ini justru merupakan tersangka dalam kasus korupsi Radio Komunikasi Kementerian Kehutanan.



Konsekuensi Kasus

Merujuk teori independensi KPK, kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra sangat membahayakan eksistensi KPK sebagai the last bastion pemberantasan korupsi di Indonesia. Mundurnya beberapa direktur dari lembaga ini beberapa waktu lalu juga dapat dicegah seandainya ada proteksi yang memadai. KPK mestinya tidak mudah menyerahkan pimpinan dan personelnya untuk diperiksa terkait wewenang dan tugas yang diembannya. Sebab hanya akan meruntuhkan mentalitas korps, meruntuhkan kredibilitas, dan mengancam eksistensi lembaga.



Pembatalan SKPP Bibit-Chandra terjadi saat KPK dalam situasi yang tidak diuntungkan. Di satu sisi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini berada pada titik nadir menyusul lambatnya KPK dalam mengusut skandal korupsi yang menarik menyedot publik, seperti kasus Century dan suap anggota DPR dalam kasus pemilihan mantan deputi gubernur BI Miranda S. Goeltom. Di pihak lain, KPK sendiri sudah mulai melakukan pengusutan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam dua kasus di atas. Belum lama ini KPK mengumumkan akan segera memanggil mantan gubernur BI Budiono dan menteri keuangan Sri Mulyani dalam kasus Century. Sementara penetapan tersangka sudah dilakukan dalam kasus pemilihan mantan deputi gubernur BI. Dalam dua kasus ini saja, aktor pemerintah, birokrasi, partai politik dan penegak hukum yang mulai tersentuh cukup membuat keder banyak orang. Bukan hal yang mengherankan jika sinyalemen koruptor fight back bisa masuk melalui pintu kasus ini.



Konsekuensi kelanjutan kasus Bibit-Candra dapat berupa lunturnya tekad KPK untuk melanjutkan kasus-kasus besar. Kasus ini secara tidak langsung telah menghilangkan fokus pimpinan KPK. Dari menjalankan tugas pemberantasan korupsi menyusul mandulnya institusi-institusi penegak hukum lain, menjadi sekadar mengurus kasus yang membelitnya sendiri. KPK akan kehilangan kekuatannya terhadap extra-ordinary crime para koruptor.



Skenario Penghancuran

SBY-lah yang sesungguhnya harus ikut bertanggungjawab untuk membendung proses penghancuran KPK. Apalagi wacana penghancuran KPK mendapat angin setelah presiden Susilo Bambang Yudhyono mengeluarkan kritik tentang eksistensi KPK sebagai lembaga superbody yang kewenangannya kelewat besar. Jika tidak, komitmennya dalam pemberantasan korupsi perlu dipertanyakan kembali-untuk tidak mengatakan SBY terlibat pembiaran penghancuran KPK.

Pada titik ini SBY perlu memerintahkan kejaksaan untuk melakukan langkah hukum yang serius. Perintah presiden bukan dalam rangka intervensi terhadap materi dan proses hukum itu sendiri, namun harus dilihat sebagai dukungan moral dan politik terhadap kejaksaan. Dapat dibayangkan jika kejaksaan tidak ambil peduli pada kelanjutan kasus ini karena merasa bukan urusannya lagi.



Langkah Penanganan

SKPP sudah terlanjur dikeluarkan kejaksaan, namun dibatalkan pengadilan. Langkah selanjutnya tentu kejaksaan dapat melakukan banding. Meskipun demikian, langkah ini cukup berisiko perkara akan berlarut larut yang akan menyita perhatian Bibit-Chandra. Kemungkinan menang kalah pun tetap fifty-fifty, tergantung hakim seperti apa yang akan menangani di tingkat yang lebih tinggi.



Terhadap keputusan hakim perihal pembatalan SKPP, SBY cukup memerintahkan Satgas Mafia Hukum untuk menyelidiki ada-tidaknya permainan di balik keputusan hakim di sidang praperadilan. SBY tidak perlu lagi membentuk tim khusus untuk menyelidiki duduk masalah kasus. Pembentukan tim-tim khusus hanya mengalihkan tanggungjawab presiden untuk masalah yang telah terang-benderang.



Berkaca pada pembatalan SKPP di atas, kejaksaan maupun SBY dapat dianggap belum melakukan langkah hukum yang maksimal. Menurut pandangan banyak ahli, ada langkah lain selain SKPP yang justru lebih tepat untuk kasus ini:



1. Kejaksaan Agung mestinya bisa men-deponeering atau mengesampingkan kasus Bibit-Chandra. Deponeering cocok dengan pertimbangan kepentingan masyarakat yang lebih besar, sementara SKPP akan berbenturan dengan cara pandang legalistik yang kaku dari hakim-hakim.



2. Mengutip pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md pada saat pro dan kontra kasus Bibit dan Chandra jilid 1 tahun lalu, SBY dapat mengeluarkan abolisi terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto dan Cahndra Hamzah. Langkah itu untuk menghindari kekacauan dengan menutup kasus hukum terhadap Bibit dan Candra yang merupakan hak dan kewenangan presiden menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar.



Apapun langkah hukum yang ditempuh, KPK sendiri tidak dapat tinggal diam. KPK harus melakukan perlawanan terhadap serangan para koruptor. KPK perlu segera mempercepat proses pengusutan dan penuntutan kasus-kasus besar yang ditangani. Jika tidak, kita khawatir KPK segera tinggal nama.


Jurus-Jurus Penghancurkan KPK



1. Upaya pembatalan UU KPK dengan sarana judicial review di MK;

2. ancaman langsung,

3. memangkas kewenangan penyadapan dan penuntutan KPK,

4. proyek "kuda troya" untuk membajak KPK melalui seleksi pimpinannya,

5. penolakan anggaran,

6. wacana menyesatkan bahwa KPK lembaga ad hoc sehingga harus bubar suatu saat,

7. menyandera independensi KPK dengan tidak menyetujui penyidik independen,

8. hingga kriminalisasi dan rekayasa proses hukum untuk menjerat pimpinan KPK



(Sumber: Febri Diansyah dari "Super Anggodo", Kompas, 22/4)



Oleh Ilham B. Saenong

www.ti.or.id

0 comments:

Posting Komentar